Jumat, 17 Juni 2011

CONTOH





Assalamu’alaikum Wr. Wb
Tanpa  mengurangi rasa hormat, buat semua teman teman, saya mengundang untuk  menghadiri AQIQAH putra pertama saya yang bernama Baninka Azhim Askari  pada :
Hari : Minggu 20 Juni 2010
Pukul : 09.00 s.d selesai
Tempat : Jalan Malebert Utara No 88 Bandung.
Kehadiran  teman teman merupakan anugrah yang sangat kami syukuri. Semoga do’a  dari teman teman juga tetap tercurahkan pada keluarga kami.
Terima Kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Semoga berguna!

Kamis, 16 Juni 2011

MUSLIM KAYA MENGAPA TIDAK?

Muslim Kaya Tidak Tercela 

 


Seorang muslim harus berwibawa
Kondisi ekonomi yang fluktuatif, krisis global yang melanda sebagian besar industri, dan usaha yang kembang-kempis tidak boleh membuat seorang muslim frustasi dalam berikhtiar. Kondisi ini seyogianya dijadikan momentum untuk mengoreksi diri dan mencari penyebab krisis. Jangan bersikap seperti orang-orang kafir, yang berputus asa dengan melampiaskannya ke diskotik, meneggak khamr, atau bahkan, tidak sedikit yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Seorang muslim, dalam menghadapi krisis, hendaknya menyadari bahwa kehidupan adalah sebuah realitas yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, tawakal, dan menjauhi sifat pengecut serta pandai mengolah kelemahan menjadi sebuah kekuatan.
Situasi krisis dan kondisi serba kurang serta hidup miskin harus menjadi cambuk bagi seorang muslim untuk bangkit mencari peluang bisnis dan membuka keran rezeki yang mampet. Setiap muslim dituntut menjadi teladan, termasuk dalam semangat mengumpulkan rezeki dan membuka lapangan kerja yang halal.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu, ketika berhijrah ke Madinah dengan segala keterbatasan dan kehidupan yang serba susah karena konsekuensi hijrah, beliau harus meninggalkan seluruh hartanya di Mekkah. Pada kondisi seperti itu, beliau radhiallahu ‘anhu mendapat tawaran bantuan, namun beliau menampiknya dan mengatakan, ”Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah.” [10] Dalam waktu yang tidak begitu lama, beliau radhiallahu ‘anhu sudah mampu hidup mandiri dan menikah dari hasil usahanya.
Adapun tentang hadis bahwa Abdurrahman masuk surga sambil merangkak, maka itu adalah hadis palsu, seperti yang telah ditegaskan Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Talbis Iblis [11], dan sanad hadis palsu tersebut sangat lemah, sebagaimana yang telah ditegaskan Imam Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala’ [12].
Kesibukan para utusan Allah dan para ulama salaf dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka untuk mencari rezeki yang halal, untuk menafkahi keluarganya. Karena itulah, seorang muslim harus bisa meneladani mereka. Kesibukan seorang muslim dalam berusaha, jangan sampai membuatnya lalai menuntut ilmu. Sebaliknya, alasan menuntut ilmu jangan sampai membuatnya malas untuk mencari nafkah.
Apapun bentuk usaha seorang muslim, asalkan halal dan diperoleh dengan cara yang benar, itu harus ditekuni dan dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Hilangkan perasaan rendah diri, malu, atau gengsi dengn profesi yang dijalaninya karena mungkin dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bentuk profesi hina dan tidak bermartabat. Mulia atau tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi atau tidaknya profesi tersebut dalam pandangan manusia. Akan tetapi, kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan usaha itu di hadapan Allah serta terpujinya dia dalam pandangan syariat.
Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita dalam berusaha dan berkarya, untuk menopang kelangsungan dakwah dan tersebarnya risalah. Nabi Zakaria ‘alaihis salam menjadi tukang kayu, Nabi Idris ‘alaihis salam menjahit pakaian, dan Nabi Daud ‘alaihis salam membuat baju perang. Dengan demikian, bisa dikatakan, bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunah para utusan Allah. Berusaha untuk mencari nafkah, baik dengan berniaga, bertani, atau berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakal. [13]
Begitu pula para ulama salaf. Mereka tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha, tetapi mereka juga gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum muslim, lalu dia mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut, karena ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau mencukupi kebutuhan hidup keluarganya dari baitulmal. [14]
Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada keberhasilannya, kemampuannya untuk memberi manfaat orang lain, juga martabatnya di hadapan Allah dan hamba-Nya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), "Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)." (Q.S. Al-Ma’arij:24--25)
Pahala mencari nafkah
Seorang muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya, bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, sembari tidak berputus asa dalam menghadapi kendala dan hambatan, sehingga menjadi hamba yang mandiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik daripada makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi Allah, Daud, makan dari hasil usaha tangannya sendiri." [15]
Abu Qasim Al-Khatli bertanya kepada Imam Ahmad rahimahumullah, ”Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam diri di rumah atau di sebuah masjid, lalu berkata, 'Aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang.'?" Imam Ahmad rahimahullah menjawab, ”Orang itu tidak tahu ilmu. Apakah ia tidak mendengarkan sabda Rasulullah, 'Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad).'?" [16]
Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang para hamba-Nya menjadi orang kaya dan hidup berkecukupan. Bahkan, Allah mencintai orang kaya yang bersyukur, asalkan tidak sombong serta mencari harta sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Jadi, tidak ada alasan untuk mencela usaha yang halal. Yang tercela adalah usaha yang haram atau usaha yang menyebabkan lalai dari ibadah kepada Allah, bersikap sombong, dan kikir.
Sahl bin Abdullah At-Tustari rahimahullah berkata, ”Barang siapa yang merusak tawakal berarti dia telah merusak pilar keimanan, dan barang siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunah." [17]
Wahai saudaraku, tulisan ini sengaja saya sampaikan untuk menepis anggapan sebagian orang yang tidak berilmu bahwa menjadi orang kaya, hidup berkecukupan, dan gigih mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap zuhud. Padahal, tidaklah demikian! Bahkan, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu berkata, ”Termasuk indikasi bahwa seseorang memahami agamanya adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya.” [18]
Wallahu a’lam.

Rabu, 15 Juni 2011

AKIKAH , HALAL,MURAH, ENAK DAN HIEGINIS

Menyediakan kambing untuk Aqiqah,  Siap memotong, memasak, menyalurkan dan mengantar sampai tujuan
DAFTAR HARGA
Type Harga Kambing Biaya Masak/ekor
(2 menu)
Hasil Masakan
Sate Gulai
A
Rp 750.000
Rp 300.000
225 tusuk
60 porsi
B
Rp 1.000.000
Rp 300.000
250 tusuk
70 porsi
C
Rp 1.250.000
Rp 300.000
300 tusuk
80 porsi
D
Rp 1.500.000
Rp 300.000
350 tusuk
90 porsi
E
Rp 1.750.000
Rp 350.000
400 tusuk
110 porsi
* Menu masakan bisa diusulkan sesuai selera anda

Kelebihan yang kami berikan
1. GRATIS : Antar & potong.
2. Kambing potong sehat sesuai syariat
3. Siap membantu menyalurkan ke panti asuhan atau yayasan yang di tunjuk
4. Dokumentasi bila di perlukan
5. Pembayaran lunas setelah barang di terima, uang muka 50 %
6. menu masakan bisa sate,  gule, tengkleng, empal, tongseng dll

Aqiqah Setelah Dewasa




Ada sebagian orang, termasuk penulis, yang belum sempat diakikah oleh orangtuanya ketika dia lahir. Itu bisa jadi karena ketidaktahuan atau bisa pula ketidakmampuan orangtua.
Lalu, ketika sudah dewasa dan mampu untuk melaksanakan akikah, bolehkah melakukannya sebagai penebus akikah di waktu kecil? Masalah ini menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Sebelum menjawab pertanyaan ini harus dipahami dahulu bahwa akikah itu merupakan tanggung jawab siapa?
Sebagian ulama mengatakan dia adalah tanggung jawab ayah. Sebagian lagi mengatakan dia adalah tanggung jawab wali. Sebagian lagi mengatakan dia adalah tanggung jawab anak.
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memberi kesimpulan bahwa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan akikah adalah ayah, tapi bila si ayah tidak melaksanakannya dengan alasan apapun maka si anak bisa saja melaksanakan akikah untuk dirinya sendiri ketika sudah dewasa tapi dengan niat mewakili atau menggantikan ayahnya yang dulu belum sempat mengakikahkan. (Mudzakkiratu Fiqh, Al-Utsaimin, Dar Al-Bashirah, juz 2 hal. 237).
Dalam hemat saya tak ada keterangan pasti bahwa akikah hanya menjadi hak orangtua. Sebab berdasarkan hadits, Samurah bin Jundub, Rasulullah SAW bersabda, ”Setiap anak yang lahir akan tertanggung oleh akikahnya.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, An-Nasa`i dan Ahmad).
Artinya, kalau dia masih tertanggung atau terhutang sampai melaksanakan akikah untuk dirinya, maka tak ada salahnya akikah itu dilaksanakan menggunakan harta si anak itu sendiri. Wallahu a’lam.
Kembali ke permasalah di atas ada dua pendapat:
Madzhab pertama: Boleh saja orang yang sudah dewasa melaksanakan akikah untuk dirinya sendiri.
Ini adalah pendapat ’Atha`, Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin dari kalangan tabi’in. Sedang para ulama madzhab yang mendukung pendapat ini adalah sebagian ulama madzhab Hanbali dan sebagian Syafi’iyyah.
Pendapat kedua: Tidak boleh melakukan itu, karena bukan sunnah.
Ini adalah pendapat madzhab Maliki
Dalil-dalil:
Dalil yang membolehkan adalah hadits dari Anas RA bahwa Rasulullah SAW meng-akikah-kan dirinya sendiri setelah menjadi Nabi.
Shahihkah riwayat ini?
Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan riwayat Anas ini. Ada yang menganggap dha’if, seperti Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, An-Nawawi dalam Al-Majmu` syarh Al-Muhadzdzab, bahkan beliau mengatakan hadits ini batil. Demikian halnya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam At-Talkhish Al-Habir.
Ada pula yang menganggapnya shahih seperti Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits nomor 2726. Beliau menjelaskan panjang lebar perbedaan para ulama mengenai hadits ini dan beliau berkesimpulan hadits ini shahih.
Hadits ini punya dua jalur dari Anas bin Malik:
Jalur pertama: Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (juz 4, hal. 329, no. 7960) berkata, ”Dari Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah SAW mengakikahkan dirinya ketika beliau telah diangkat menjadi Nabi.”
Jalur ini lemah sekali, karena Abdullah bin Muharrar telah disepakati kelemahannya.
Jalur kedua: Ath-Thahawi berkata, “Al-Hasan bin Abdullah bin Manshur Al-Balisi menceritakan kepada kami, katanya, Al-Haitsam bin Jamil menceritakan kepada kami, katanya, Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas menceritakan kepada kami, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bahwa Nabi saw mengakikahkan dirinya ketika beliau sudah diangkat menjadi Nabi.” (Musykil Al-Aatsar, juz 3 hal. 46, no. 883).
Al-Hasan bin Abdullah ini diperkuat oleh Al-Husain bin Nashr, yang juga dalam riwayat Ath-Thahawi.
Penguat lain adalah riwayat Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath, dia berkata, “Ahmad menceritakan kepada kami, katanya, Al-Haitsam menceritakan kepada kami, katanya, Abdullah menceritakan kepada kami, dari Tsumamah, dari Anas, bahwa Nabi saw mengakikahkan dirinya setelah diutus menjadi Nabi.” (Al-Mu’jam Al-Awsath, no. 1006).
Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa`id mengomentari riwayat Ath-Thabarani ini, “Perawi riwayat Ath-Thabarani ini adalah para perawi yang dipakai dalam kitab Shahih kecuali Al-Haitsam bin Jamil, tapi dia sendiri tsiqah. Sedangkan guru Ath-Thabarani yaitu Ahmad bin Mas’ud Al-Khayyath Al-Maqdisi tidak terdapat dalam Al-Mizan (maksudnya kitab Mizan Al-I’tidal karya Adz-Dzahabi).”
Maksud pernyataan Al-Haitsami diatas bahwa Ahmad bin Mas’ud tidak masuk dalam kitab Al-Mizan karya gurunya Al-Hafizh Adz-Dzahabi, yang mana kitab tersebut memuat para perawi yang dha’if. Artinya, Ahmad bin Mas’ud bukan perawi yang dha’if. Wallahu a’lam.
Jalur ketiga sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 2726 yang menukil dari Al-Hafizh Ibnu Hajar, bahwa ada mutabi’ bagi Abdullah bin Muharrar yaitu Ismail bin Muslim Al-Makki, dari Qatadah, dari Anas. Ismail ini meskipun dha’if tapi tidak parah sehingga jalurnya bisa memperkuat jalur lain, terutama jalur Abdullah bin Mutsanna.
Abdullah bin Al-Mutsanna bin Abdullah bin Anas memang masih diragukan kredibilitasnya, tapi Al-Bukhari sendiri memakainya dalam Shahihnya bila dia meriwayatkan dari pamannya yaitu Tsumamah bin Abdullah bin Anas. Coba lihat Shahih Al-Bukhari, no. 92, 93, 954 dan banyak lagi (berdasarkan penomoran maktabah syamilah). Artinya, bila Abdullah bin Al-Mutsanna ini meriwayatkan dari Tsumamah maka haditsnya diterima. Sebab, tidak mungkin Al-Bukhari memasukkan jalur tersebut ke dalam shahihnya bila bermasalah. Wallahu a’lam.
Kesimpulannya hadits bahwa Nabi saw pernah mengakikahkan dirinya ketika sudah diutus menjadi Nabi adalah hadits yang shahih lighairih. Riwayat Abdullah bin Al-Mutsanna sanadnya hasan lidzaatih dan diperkuat oleh riwayat Ismail bin Muslim yang dha’if, sehingga menjadi shahih lighairih. Wallahu a’lam.
Hal ini juga difatwakan oleh para tabi’in, antara lain Muhammad bin Sirin sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, Hafsh menceritakan kepada kami, dari Asy’ats, dari Muhammad (Ibnu Sirin) dia berkata, “Andai kutahu bahwa aku belum diakikahkan, niscaya aku akan mengakikahkan diriku sendiri.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 5 hal. 530).
Juga difatwakan oleh Al-Hasan Al-Bashri sebagaimana riwayat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla, juz 7 hal. 528 (terbitan Dar Al-Fikr) dari jalur Waki’, dari Ar-Rabi’ bin Shubaih, dari Al-Hasan yang berkata, “Jika kamu belum diakikahkan, maka berakikahlah meski engkau sudah jadi orang dewasa.” Perkataan Al-Hasan ini juga dinukil oleh Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, juz 11 hal. 264 (terbitan Al-Maktab Al-Islami, 1403 H).
Dalil yang melarang: Mereka menganggap bahwa akikah itu adalah tanggungan orangtua, maka tak ada hubungannya dengan si anak. Bila memang belum diakikahkan oleh orangtua maka tak ada hak si anak mengakikahkan dirinya. Lalu mereka mengatakan bahwa hadits Rasulullah saw mengakikahkan diri sendiri adalah hukum spesial untuk beliau.
Tapi dalil ini lemah, darimana bisa menentukan bahwa itu spesial untuk Rasulullah saw saja? Tidak ada keterangan valid untuk itu, sehingga apapun yang dilakukan beliau saw dan tidak ada keterangan valid bahwa itu spesial buat beliau semata, maka itu menjadi sunnah bagi ummatnya. Wallahu a’lam.
Dalam kitab Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al-Maulud (hal. 61 cetakan Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1983), Ibnu Al-Qayyim menukil dari Al-Khallal bahwa Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “kalau ada orang yang mengakikahkan dirinya ketika dewasa maka aku tidak membencinya.”
Kesimpulannya silahkan bagi yang ingin mengakikahkan dirinya bila belum diakikahkan di waktu kecil. Wallahu a’lam.

Jumat, 10 Juni 2011

SYARIAT AQIQAH

Aqiqah


Aqiqah
dalam istilah agama adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat-syarat tertentu. Oleh sebagian ulama ia disebut dengan nasikah atau dzabihah (sembelihan).Hukum aqiqah itu sendiri menurut kalangan Syafii dan Hambali adalah sunnah muakkadah. Dasar yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi SAW. "Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya)

Bisa kita simpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2 ekor kambing bagi 'Aqأqah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk 'Aqأqah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala. Wallأ¢hu A'lam.

Kata 'Aqiqah berasal dari bahasa arab. Secara etimologi, ia berarti 'memutus'. 'Aqqa wi¢lidayhi, artinya jika ia memutus (tali silaturahmi) keduanya. Dalam istilah, 'Aqiqah berarti "menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah swt berupa kelahiran seorang anak".
'Aqiqah merupakan salah satu hal yang disyariatkan dalam agama islam. Dalil-dalil yang menyatakan hal ini, di antaranya, adalah Hadits Rasulullah saw, "Setiap anak tertuntut dengan 'Aqiqah-nya'?. Ada Hadits lain yang menyatakan, "Anak laki-laki ('Aqiqah-nya dengan 2 kambing) sedang anak perempuan ('Aqiqah-nya) dengan 1 ekor kambing'?. Status hukum 'Aqiqah adalah sunnah. Hal tersebut sesuai dengan pandangan mayoritas ulama, seperti Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Imam Malik, dengan berdasarkan dalil di atas. Para ulama itu tidak sependapat dengan yang mengatakan wajib, dengan menyatakan bahwa seandainya 'Aqiqah wajib, maka kewajiban tersebut menjadi suatu hal yang sangat diketahui oleh agama. Dan seandainya 'Aqiqah wajib, maka Rasulullah saw juga pasti telah menerangkan akan kewajiban tersebut.
Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Laits, berpendapat bahwa hukum 'Aqiqah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan atas salah satu Hadits di atas, "Kullu ghuli¢min murtahanun bi 'aqiqatihi'? (setiap anak tertuntut dengan 'Aqiqah-nya), mereka berpendapat bahwa Hadits ini menunjukkan dalil wajibnya 'Aqiqah dan menafsirkan Hadits ini bahwa seorang anak tertahan syafaatnya bagi orang tuanya hingga ia di-'Aqiqah-i. Ada juga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya (masyri»'iyyat) 'Aqiqah, tetapi pendapat ini tidak berdasar sama sekali. Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa 'Aqiqah adalah sunnah.
Bagi seorang ayah yang mampu hendaknya menghidupkan sunnah ini hingga ia mendapat pahala. Dengan syariat ini, ia dapat berpartisipasi dalam menyebarkan rasa cinta di masyarakat dengan mengundang para tetangga dalam walimah 'Aqiqah tersebut.
Mengenai kapan 'Aqiqah dilaksanakan, Rasulullah saw bersabda, "Seorang anak tertahan hingga ia di-'Aqiqah-i, (yaitu) yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan diberi nama pada waktu itu'?. Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa 'Aqiqah mendapatkan kesunnahan jika disembelih pada hari ketujuh. Sayyidah Aisyah ra dan Imam Ahmad berpendapat bahwa 'Aqiqah bisa disembelih pada hari ketujuh, atau hari keempat belas ataupun hari keduapuluh satu. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sembelihan 'Aqiqah pada hari ketujuh hanya sekedar sunnah, jika 'Aqiqah disembelih pada hari keempat, atau kedelapan ataupun kesepuluh ataupun sesudahnya maka hal itu dibolehkan.
Menurut hemat penulis, jika seorang ayah mampu untuk menyembelih 'Aqiqah pada hari ketujuh, maka sebaiknya ia menyembelihnya pada hari tersebut. Namun, jika ia tidak mampu pada hari tersebut, maka boleh baginya untuk menyembelihnya pada waktu kapan saja. 'Aqiqah anak laki-laki berbeda dengan 'Aqiqah anak perempuan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sesuai Hadits yang telah kami sampaikan di atas. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa 'Aqiqah anak laki-laki sama dengan 'Aqiqah anak perempuan, yaitu sama-sama 1 ekor kambing. Pendapat ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw meng-'Aqiqah- i Sayyidina Hasan dengan 1 ekor kambing, dan Sayyidina Husein '“keduanya adalah cucu beliau saw'” dengan 1 ekor kambing.
***
Bisa kita simpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2 ekor kambing bagi 'Aqiqah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya, namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk 'Aqiqah anak laki-lakinya juga diperbolehkan dan mendapat pahala. Wallahu A'lam.
Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa agama Islam membedakan antara 'Aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan, maka bisa kita jawab, bahwa seorang muslim, ia berserah diri sepenuhnya pada perintah Allah swt, meskipun ia tidak tahu hikmah akan perintah tersebut, karena akal manusia terbatas. Barangkali juga kita bisa mengambil hikmahnya yaitu untuk memperlihatkan kelebihan seorang laki-laki dari segi kekuatan jasmani, juga dari segi kepemimpinannya (qawwamah) dalam suatu rumah tangga. Wallahu A'lam.
Dalam penyembelihan 'Aqiqah, banyak hal yang perlu diperhatikan, di antaranya, sebaiknya tidak mematahkan tulang dari sembelihan 'Aqiqah tersebut, dengan hikmah tafa'™ul (berharap) akan keselamatan tubuh dan anggota badan anak tersebut. 'Aqiqah sah jika memenuhi syarat seperti syarat hewan Qurban, yaitu tidak cacat dan memasuki usia yang telah disyaratkan oleh agama Islam. Seperti dalam definisi tersebut di atas, bahwa 'Aqiqah adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh semenjak kelahiran seorang anak, sebagai rasa syukur kepada Allah. Tetapi boleh juga mengganti kambing dengan unta ataupun sapi dengan syarat unta atau sapi tersebut hanya untuk satu anak saja, tidak seperti kurban yang mana dibolehkan untuk 7 orang. Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa 'Aqiqah hanya boleh dengan menggunakan kambing saja, sesuai dalil-dalil yang datang dari Rasulullah saw. Wallahu A'lam.
Ada perbedaan lain antara 'Aqiqah dengan Qurban, kalau daging Qurban dibagi-bagikan dalam keadaan mentah, sedangkan 'Aqiqah dibagi-bagikan dalam keadaan matang. Kita dapat mengambil hikmah syariat 'Aqiqah. Yakni, dengan 'Aqiqah, timbullah rasa kasih sayang di masyarakat karena mereka berkumpul dalam satu walimah sebagai tanda rasa syukur kepada Allah swt. Dengan 'Aqiqah pula, berarti bebaslah tali belenggu yang menghalangi seorang anak untuk memberikan syafaat pada orang tuanya. Dan lebih dari itu semua, bahwasanya 'Aqiqah adalah menjalankan syiar Islam. Wallahu A'lam.
Referensi utama : Tarbiyatul Awlid, DR. Abdullah Nashih Ulwan.
".